PEREMPUANINI.COM, THE WEDDING - Pekerja shift yang berisiko paling besar menghadapi disfungsi
fisik dan perkawinan adalah mereka yang bekerja berdasarkan rotasi
seperti perawat, polisi, petugas di unit gawat darurat dan pekerja
pabrik yang bekerja dengan shift yang berubah-ubah. Jam biologis mereka
benar-benar menjadi tidak beraturan.
Beberapa penelitian klinis dalam buku Marital Therapy
menunjukkan bahwa sering terjadi konflik antara pasangan yang mempunyai
kebiasaan kerja di malam hari dan siang hari. Data penelitian
menunjukkan bahwa ada perbedaan psikologis dan metabolisme yang mendasar
antara orang-orang yang bekerja di siang dan malam hari.
"Orang
siang" cenderung lebih menyukai kegiatan fisik dan meluangkan banyak
waktu di luar rumah. Mereka umumnya mengoptimalkan energi dan performa
tugasnya jauh lebih bagus bekerja di siang hari. Sebaliknya "Orang
malam" cenderung tidak menyukai kegiatan fisik. Mereka memiliki
keterlibatan sosial yang tinggi, cenderung lebih aktif secara seksual,
dan lebih menyukai melakukan hubungan badan di penghujung hari.
Dengan
perbedaan itu, maka pernikahan antara "orang siang" dan "orang malam"
bisa melahirkan stres dalam hubungan pasangan. Pasangan yang berbeda
irama ini akan lebih sedikit melakukan percakapan serius dan aktivitas
bersama, khususnya aktivitas seksual.
Salah satu potensi konflik yang paling umum terjadi adalah, setelah bekerja di malam hari orang yang bekerja shift malam
ini membutuhkan suasana damai dan tenang di pagi hari. Namun, pada
saat yang sama, pasangan dan anggota lainnya justru baru memulai
aktivitas pagi hari. Umumnya, suasana pagilah menjadi heboh alias gaduh.
Ini tentu saja bisa mengganggu ketenangan tidurnya.
Bagi pria tentu merasa tidak ada tanggungjawab sepulang tugas malam di pagi hari. Tetapi Bagi perempuan bekerja shift malam
masih harus menjalankan tanggung- jawabnya sebagai istri dan ibu. Dia
wajib mengurus rumah, memasak, menyiapkan anak ke sekolah dan
sebagainya. Hal ini tentu mengurangi jumlah jam tidur, dan mempengaruhi
emosinya.
Dilema lain bagi pasangan yang bekerja dengan sistem shift
adalah jarang melihat pasangannya. Sangat sedikit sedikit waktu untuk
menikmati hiburan dan rekreasi bersama. Padahal, dalam kondisi stres
seperti ini mereka butuh hiburan dan penguatan. Jangan heran godaan
menyeleweng menjadi besar jika tidak mampu mengelola konflik dan tekanan
situasi ini.
Beberapa pekerja yang beresiko paling besar
menghadapi disfungsi fisik dan perkawinan adalah mereka yang bekerja
berdasarkan rotasi seperti perawat, polisi, dan petugas di unit gawat
darurat. Juga mereka para pekerja pabrik yang bekerja dengan shift yang
berubah-ubah. Jam biologis mereka menjadi tidak beraturan. Suasana moodnya seperti menderita jet-lag yang kronis, alias berlangsung untuk waktu yang panjang. Belum tenang sudah harus bekerja lagi.
Beberapa
penelitian menunjukkan bila pasangan "tak seirama" ini tidak cakap
mengelola konflik maka mudah meningkatkan kecenderungan bercerai.
Tetapi jika mereka bisa mengatasi berbagai stres dengan baik maka
mereka bisa menghasilkan kelenturan yang lebih tinggi dan kemampuan
adaptasi yang lebih baik, dibandingkan dengan pasangan yang seirama.
Tidak sedikit dari angkatan kerja dewasa ini bekerja secara bergiliran. Penelitian menunjukkan bahwa bekerja secara shift merupakan
salah satu stresor yang bisa memperburuk masalah kecil yang sebelumnya
sudah ada. Atau memicu konflik kecil menjadi lebih besar. Salah satu
penyebab adalah pekerja shift ini tidurnya kurang dari 7 jam. Tidak mengherankan jika mereka yang bekerja dengan sistem shift cenderung mengalami penyakit hingga meningkatnya kematian. (KOMPAS.com)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment